Kamis, 05 Oktober 2017

- Si Jojom dan Mang Udeng yang Pundungan -


Di pagi yang tidak begitu terik dan mendung. Jojom menarik selimut barunya yang sudah dua bulan belum ia cuci, sengaja ia menutupi wajahnya, seolah belum mampu menatap indahnya dunia dalam mentari (eaa). Sayangnya, teriakan sang Emak yang mengalahkan jerit jam weker, membuat Jojom jatuh terhempas ke lantai.
"Iya, Mak. Jojom bangun kok." Ucapnya sambil menggaruk kepala.
"Cepet bangun! Sekolah Jom!"
"Iya Makku sayang."

Di perjalanan, Jojom bertemu Mang Udeng, salah satu tukang ojeg yang selalu nangkring di Gang Endah (salah satu gang menuju rumah Jojom).

"Mang narik gak?"
"Enggak Jom."
"Terus ngapain mangkal?"
"Terserah dong." Ucapnya ketus.
"Ya ellllah Mang, judes banget sama penumpang. Asem deh kayak cuka, haha. Ya udah kalo gitu."

Tak lama kemudian datang Mang Eem dengan motor Tiinjanya, eh salah Ninja maksudnya.

"Mang Eem, ngojeg gak?"
"Iya Jom, mau ke mana? Sekolah?"
"Enggak Mang, kata Emak, tolong bawain tas Teh Ira ke Stasiun, ini uangnya." Jojom pun memberikan uang 50.000.
"Alhamdulillah, rezeki ini mah, terima kasih Jom."

Mang Udeng pun cengo dibuatnya. Ia kira, harus mengantar Jojom ke sekolah. Mang Udeng sedikit trauma jika harus mengantar Jojom. Karena setiap mengantar Jojom ke sekolah, entah mengapa selali terjadi hal-hal yang aneh.

Ini ceritanya, langsung saja ke TKP.

Tepat di hari ulang tahun Mang Udeng, Ia mengantar Jojom ke sekolah. Di perjalanan tiba-tiba motor hampir kehabisan bensin. Padahal perjalanan menuju sekolah si Jojom, lumayan cukup jauh. Dengan tekad yang mempesona, Mang Udeng terus saja melajukan kendaraannya. Akhirnya sampai juga di sekolah.

"Mang terima kasih yah" Jojom memberikan selembar uang Rp5000 yang baru saja ia lakban.

Mang Jojom hanya bisa menatap pilu. Sekali-kali menatap ke langit dan menarik nafas panjang.

"Selvi, ayo... Kita jalan yuk. Ayo dong. Kita harus pulang ke rumah. Kayaknya di rumah bakalan ada sesuatu yang mengejutkan." Ucap Mang Udeng kepada motornya. Berusaha tabah dengan kondisinya saat ini.

Sayangnya, si Selvi sudah sekarat. Sampai-sampai Mang Udeng harus mendorong motornya. Kasihan memang, selama perjalanan tidak ada yang menjual bensin, di tambah lagi hujan yang begitu lebat, petir yang menggelegar, angin yang tak henti-hentinya menjatuhkan helm Mang Udeng, mengiringi Mang Udeng selama di perjalanan menuju rumahnya.

"Hidup adalah perjuangan. Selvi, kita harus berjuang. Yang di rumah, sedang menunggu kita."

Mang Udeng dan Selvi pun sampai juga di rumah. Nyatanya, tidak ada siapa-siapa. Mang Udeng, hanya bisa menelan ludah dan sisa air hujan yang menempel di lobang hidungnya.

Kasihan sekali Mang Udeng ini. Tampaknya, tanggal kelahirannya akan tetap menjadi sebuah rahasia yang tak bisa diketahui oleh keluarganya.

Tapi, Mang Udeng masih tetap optimis. Sepertinya kejutan itu ada di dalam lemari makanan. Itu yang ia pikirkan.

Tapi dan tapi lagi. Ternyata, ketika membuka lemari makanan, hanya ada sepotong ikan teri yang berdiam diri menanti kepulangan Mang Udeng.

#CeritaSiJojom
#CeritaPagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar